Paginya
saya bangun tidur sangat loyo di tubuh. Kemplu saya tepuk keras-keras, saya
menanyakan apa yang sudah terjadi saat tadi malam di Desa Sial. Kemplu menjawab:
“Tidak
ada apa-apa, Sob. Jangan dibuat susah-susah, semua kebajikan baik, tidak ada
kecelakaan apa-apa.”
Saya
tahu bahwa pembicaraannya Kemplu, yaitu menghibur hati agar tenang menenteramkan
hati. Pemandangan yang terlihat di wajah tidak boleh diingkari begitu saja. Omongannya
diselubung-lubungi, kalau pembicaraannya bukanlah maksud sebenarnya.
Diselubungi bicaranya dengan bujukan.
Bersamaan saya selalu terdesak,
saya dapat memperoleh keterangan secara jelas, beginilah:
Di depan sudah saya
ceritakan bahwa Desa Sial ini terletak di sebelah timur Dusun Cilukba, ada di
pelengkungannya Sungai Cemeng. Dengan Dusun Cilukba antaranya tidak terlalu
jauh, disekat-sekat perkebunan, tanah yang sedikit miring ke bawah di tebing
gunung.
Sebelah timur dan timur
laut Sungai Cemeng, pegunungan yang berjajar-jajar sampai Dusun Penthil.
Perumahan di Sial kira-kira ada dua puluhan, penduduknya kurang lebih delapan
puluh jiwa.
Sebab guncangan gempa
juga hujan meributkan sewaktu malam Minggu, tanah yang ditanami di sini banyak
yang terkikis habis.
Penghabisan malam
Selasa diulangi lagi gempa kencang, hujan angin. Sungai Cemeng yang sangat
penuh tidak pernah banjir, karena airnya yakni tidaklah besar, sewaktu malam
Selasa datang menjadi banjir yang mengerikan sekali.
Penghabisan bukit di
tingkungan-tikungannya Sungai Cemeng, sebelah timurnya Desa Sial, tertutup
selalu oleh aliran air, wah demikian gempa datang. Bukit yang besarnya sekali
tadi, longsor semua memampatkan aliran banjirnya Sungai Cemeng.
Sudah tentu saja airnya,
supaya turun ke tempat yang lebih pendek.
Begitu ke timur pegunungan,
ke selatan perbukitan. Sejak aliran banjir Sungai Cemeng mengarah masuk Desa
Sial. Desa Sial rusak parah sekali. Orang-orang akan mengungsi juga tidak bisa,
sejak berakhirnya gelanggang air.
Maka orang-orang di
situ pun menjerit di mana-mana meminta tolong. Sebentar lagi banjir besar
datang. Desa Sial tidak ada yang lolos dengan seisinya. Begitu sekian banyak
orang sedang meminta petolongan dari dusun itu, justru petugas keamanan desa tadi
kebetulan baru saja sibuk punya pekerjaan.
Tadi pagi juga Kemplu
menghindari saya, perlu melihat dari mana keadaannya. Menurut ceritanya,
bersama hingga terakhir di situ membuatnya tercenung, kekagumannya tidak terasa
habis-habis, Desa Sial telah bersih seperti habis disapu, tidak ada orang satu
pun. Rumah-rumah juga tenggelam, hanya di sebelah barat yang dua atap tidak terbawa,
tetapi, ya, sudah roboh.
Apakah ada yang
tertinggal di situ? Oh, yang tertinggal tidak ada lainnya, kecuali sisa endapan
lumpur di sungai. Dengan seperangkat alat musik tradisional Jawa yang baru saja
untuk pergelaran wayang kulit, tidak ada satu pun yang tidak terbawa aliran
air.
Bukit yang longsor seketika
memampatkan sungai itu, yaitu diceritakan panjangnya tidak kurang dari sepuluh
jengkal, luasnya tiga atau empat jengkal.
Begitu ketika kejadian
yang mengerikan tadi. Oh, ayah, ibu, dan adik saya Kempot ada di situ
menghadiri undangan pernikahan. Seharusnya ketika tadi malam mereka mau pulang,
terus terjadi hujan. Akhirnya aku berkeluh kesah, mereka ikut tersapu dalam
arus air.
Seperti apa rasanya
hati saya? Seperti hati tidak bisa diceritakan, seperti itu juga seberapa sedih
meninggalnya ayah-ibu menyisakan saudara semua. Baru saja meninggal ayah atau
ibu saja, banyak orang yang bersamaan mengalami pingsan, apalagi ayah-ibu
bersamaan meninggalnya.
Sepertinya Ki Godhong
Ati juga menyusul ayah terbawa dalam arus banjir, bersamaan banyak orang
menjadi korban.
Maka ketika begitu, wilayah
tersebut seperti baru saja terkena amarah murka, terkena hukuman dari Sang Hyang
Agung. Tidak khusus hanya Desa Sial saja yang rusak porak-poranda, masih banyak
kumpulannya lagi, ada yang diberi tertimbun gunung, jadi hampir sama dengan
terkubur secara hidup-hidup.
Dusun Kirangsiti
berlubang, kanan-kirinya sama bilah-bilah kayu menimbunnya. Jumlah jenazah yang
ditemukan ada sepanjang Sungai Belang terus Sungai Banyu tanpa terhitung
banyaknya.
Siapa yang mengetahui,
siapa yang mengerti, bahwa dusun saya ikut sebagai wilayah terdampak banjir
besar? Begitulah dusun saya ada di lereng pegunungan. Andaikan pegunungan
sebelah barat dusun longsor, dipastikan tidak akan ada yang mampu beruntung.
Sesudahnya Kemplu
menceritakan kejadian-kejadian malam tadi, hati saya sudah tidak kena
ditahan-tahan, seketika saya menjerit menangis terharu-haru di pangkuannya Kemplu.
Yang saya tangiskan tiada lain, orang tua sesaudara semua.
Kemplu yang umurnya
baru saja menginjak delapan belas tahun, kelihatan bingung, agak kecewa
hatinya, sebab tanpa dugaan-dugaan menceritakan secara terus terang, apa yang
habis dilihatnya sendiri.
Seringkalinya terhibur
hati saya, dengan Kemplulah berhenti sendiri air mata. Banyak-banyak bicaranya
dengan belas kasih, agar saya terhibur.
Akan tetapi
pembawaannya bocah, setiap saya menangis justru saya keraskan. Tubuh saya, lalu
sampai didekapnya erat-erat oleh Kemplu, dengan menangis tersedu-sedu.
Saat demikian para
tetangga, ya, banyak yang bersama melayat ke kediaman saya. Semua tadi, ya, cerita
banyak-banyak, penghibur hati saya. Justru ada yang dengan berkomat-kamit saja,
mengeluarkan keampuhan doanya.